Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tetap komitmen berada dalam kelompok BRICS meskipun menghadapi tekanan berupa ancaman tarif tambahan dari Amerika Serikat. Istana Kepresidenan melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mundur dari keanggotaannya di BRICS, meski Presiden AS Donald Trump berencana menerapkan tambahan tarif sebesar 10 persen terhadap negara-negara anggota kelompok tersebut.
Kebijakan tarif tersebut diklaim sebagai bentuk tindakan resiprokal dari Amerika terhadap negara-negara yang dianggap mengancam kepentingan dagangnya. Indonesia sebagai anggota BRICS pun turut terdampak dari wacana tersebut.
"Tidak (mundur). Jadi yang per hari ini dapat kami sampaikan adalah kita tetap melanjutkan upaya untuk bernegosiasi dengan pemerintah AS," ujar Mensesneg Prasetyo Hadi kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 9 Juli 2025.
Ia menjelaskan bahwa Presiden Trump telah memberikan batas waktu hingga 1 Agustus 2025 bagi negara-negara BRICS untuk menyikapi kebijakan tambahan tarif tersebut. Selama masa tenggat ini, pemerintah Indonesia memilih untuk tetap menempuh jalur diplomasi.
"Kalau kaitannya dengan rencana penetapan kembali tarif 10 persen bagi anggota BRICS, kami merasa itu bagian dari keputusan kita kalau kita bergabung dengan BRICS. Itu ada konsekuensi, mau tidak mau harus kita hadapi," tegas Hadi.
Koordinasi intensif, lanjutnya, telah dilakukan antara pihak Istana dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pertemuan teknis terakhir berlangsung pada Selasa, 8 Juli 2025, untuk membahas strategi dan langkah-langkah lanjutan dalam menyikapi ancaman kebijakan dagang dari Amerika Serikat.
Tambahan tarif 10 persen ini, jika jadi diterapkan, akan menaikkan total beban tarif Indonesia ke AS menjadi 42 persen. Sebelumnya, tarif ekspor Indonesia ke AS tercatat sebesar 32 persen.
Namun demikian, Mensesneg menegaskan bahwa kebijakan ini belum bersifat final dan masih dalam tahap penyampaian skema oleh pemerintah AS.
"Kan baru disampaikan begitu, skemanya kan begitu. Nah ini kan masih ada waktu, masih ada jeda. Minta tolong aja kita, doakan tim yang sedang bernegosiasi supaya bisa menghasilkan yang terbaik lah untuk bangsa kita," pungkasnya.
Kebijakan tarif tersebut diklaim sebagai bentuk tindakan resiprokal dari Amerika terhadap negara-negara yang dianggap mengancam kepentingan dagangnya. Indonesia sebagai anggota BRICS pun turut terdampak dari wacana tersebut.
"Tidak (mundur). Jadi yang per hari ini dapat kami sampaikan adalah kita tetap melanjutkan upaya untuk bernegosiasi dengan pemerintah AS," ujar Mensesneg Prasetyo Hadi kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 9 Juli 2025.
Ia menjelaskan bahwa Presiden Trump telah memberikan batas waktu hingga 1 Agustus 2025 bagi negara-negara BRICS untuk menyikapi kebijakan tambahan tarif tersebut. Selama masa tenggat ini, pemerintah Indonesia memilih untuk tetap menempuh jalur diplomasi.
"Kalau kaitannya dengan rencana penetapan kembali tarif 10 persen bagi anggota BRICS, kami merasa itu bagian dari keputusan kita kalau kita bergabung dengan BRICS. Itu ada konsekuensi, mau tidak mau harus kita hadapi," tegas Hadi.
Koordinasi intensif, lanjutnya, telah dilakukan antara pihak Istana dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pertemuan teknis terakhir berlangsung pada Selasa, 8 Juli 2025, untuk membahas strategi dan langkah-langkah lanjutan dalam menyikapi ancaman kebijakan dagang dari Amerika Serikat.
Tambahan tarif 10 persen ini, jika jadi diterapkan, akan menaikkan total beban tarif Indonesia ke AS menjadi 42 persen. Sebelumnya, tarif ekspor Indonesia ke AS tercatat sebesar 32 persen.
Namun demikian, Mensesneg menegaskan bahwa kebijakan ini belum bersifat final dan masih dalam tahap penyampaian skema oleh pemerintah AS.
"Kan baru disampaikan begitu, skemanya kan begitu. Nah ini kan masih ada waktu, masih ada jeda. Minta tolong aja kita, doakan tim yang sedang bernegosiasi supaya bisa menghasilkan yang terbaik lah untuk bangsa kita," pungkasnya.
(red)
Social Header